Beberapa Pelajaran Dari Kisah Nabi Musa dan Khidir
Sungguh dalam kisah bangsa-bangsa terdahulu yang disebutkan dalam Al-Quran terdapat pelajaran penting untuk umat manusia, “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal” QS. Yusuf: 111.
Di antara kisah indah penuh hikmah dalam Al-Quran adalah kisah perjalanan Nabi Musa as untuk bertemu dengan Khidhr. Kisah ini disebutkan di surat Al-Kahfi ayat 60 – 82. Dalam kisah ini terdapat pelajaran-pelajaran penting yang dapat diambil para penuntut ilmu. Sebuah suri tauladan dari nabi Ulul Azmi Nabi Musa ‘alaihissalam, karena kisah-kisah dalam Al-Qur’an bukanlah kisah yang hampa dan kosong seperti film dan sinetron di masa kini. Tetapi ia adalah pelajaran abadi sampai akhir zaman.
Sungguh para penuntut ilmu harus mengambil pelajaran dari orang-orang soleh, menghidupkan kembali cara hidup mereka dalam menuntut ilmu, menjadikannya karakter dalam setiap pribadi penuntut ilmu. Dimana saat ini kita lihat jauhnya sebagian siswa atau mahasiswa dari adab dan akhlak yang seharusnya dimiliki oleh penuntut ilmu.
Kisah Nabi Musa dan Khidhr memilik pelajaran penting untuk penuntut ilmu, diantaranya:
وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِفَتَاهُ لَا أَبْرَحُ حَتَّى أَبْلُغَ مَجْمَعَ الْبَحْرَيْنِ أَوْ أَمْضِيَ حُقُبًا (60)
Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya: "Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun”
Dari ayat di atas diketahui bahwa Nabi Musa mempunyai tujuan yang jelas untuk dicapai. Ingin bertemu dengan dengan Nabi Khidhr untuk kebaikan dunianya dan akhiratnya di tempat dan waktu yang telah ditentukan. Sehingga bagi penuntut ilmu hendaklah mendatangi guru, bukan sebaliknya guru datang kepada ilmu. Dalam hal ini juga tentang safar atau melakukan perjalanan dalam menuntut ilmu. Rasulullah bersabda “Barang siapa yang menempuh jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan mempermudah jalannya menuju surga.” HR. At-Tirmidzi.
Di dalam ayat juga mengisyaratkan tekad yang kuat dari nabi Musa untuk menuntut ilmu. Satu huqbah (حقبة) dalam bahasa adalah waktu yang sangat panjang tanpa batas, atau 60 atau 70 tahun dan di dalam ayat ini dijamak, itu berarti beliau berazam melakukan perjalanan sampai ratusan tahun sampai beliau menemui Khidhr.
Imam Syafi’i menyebutrkan dalam bati syair beliau,
أخي لن تنال العلم إلا بستة ..... سأنبيك عن تفصيلها ببيان
ذكاء وحرص واجتهاد وبلغة ..... وصحبة أستاذ وطول زمان
Saudarku, sungguh kamu tidak akan mendapatkan ilmu kecuali dengan 6 hal
Aku akan sebutkan rinciannya dengan jelas
Kepintaran, tekad yang kuat, ketekunan (kesabaran), dana/nafkah
Belajar bersama guru dan membutuhkan waktu yang panjang
فَلَمَّا جَاوَزَا قَالَ لِفَتَاهُ آتِنَا غَدَاءَنَا لَقَدْ لَقِينَا مِنْ سَفَرِنَا هَذَا نَصَبًا (62)
Artinya: “Maka tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Musa kepada muridnya: "Bawalah ke mari makanan kita; sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini.”
Mempersiapkan bekal dalam menuntut ilmu adalah satu keharusan untuk kelancaran proses menuntut ilmu, dan supaya seorang penuntut ilmu tidak merasa kelelahan dan kepenatan yang akan membuatnya lemah dan meninggalkan majelis ilmu.
قَالَ لَهُ مُوسَى هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَى أَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا (66)
Artinya: “Musa berkata kepada Khidhr: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu"”
Kisah ini mengajarkan kepada penuntut ilmu tentang adab seorang murid kepada gurunya, yaitu berbicara kepada guru dengan lembut dan sopan jauh dari kesombongan dan keangkuhan. Imam Mujahid, seorang ulama di kalangan tabiin berkata, “Dua orang yang tidak mendapatkan ilmu, yaitu orang yang sombong dan orang yang pemalu.” Dalam kisah ini memberikan pelajaran tentang tawadhu’ orang yang alim dan orang yang tinggi dalam kemuliaan untuk belajar sesuatu yang ia tidak ada ilmunya tentang hal itu. Karena sudah pasti Nabi Musa lebih mulia dan afdhol dari Nabi Khidhr
Seorang murid hendaklah mengikuti gurunya, bukan malah sebaliknya, sehingga seorang guru adalah qudwah/panutan. “هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَى أَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا” “Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu”
Dalam ayat ini terkandung bahwa sesuatu yang diminta hendaklah dari apa yang dimiliki oleh guru. Karena setiap orang memiliki keahlian masing-masing, “فاقد الشيء لا يعطيه” “orang yang tidak memiliki apa-apa tidak akan mampu memberikan sesuatu pun.” Seorang murid hendaklah mengetahui realitas dalam meminta dan menuntut.
Pelajaran penting lainnya adalah kesabaran, kesabaran dalam menuntut ilmu. Untuk mendapatkan kesabaran yang sempurna haruslah mengetahui perkara dengan sebaiknya. “Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?” Dengan mengetahui perkara dengan baik, maka akan membantu untuk bertahan dalam kesabaran.
قَالَ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ صَابِرًا وَلَا أَعْصِي لَكَ أَمْرًا (69)
Artinya: “Musa berkata: "Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai seorang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusan pun.”
Ayat ini mengajarkan untuk menyerahkan urusan akan dilakukan kepada Allah ta’ala. Dan azam atau keinginan melakukan sesuatu perkara tidak sama dengan melakukan perbuatan tersebut. Pada ayat sebelumnya di dalam surat Al-Kahfi juga disebutkan
ولَا تَقُولَنَّ لِشَيْءٍ إِنِّي فَاعِلٌ ذَلِكَ غَدًا (23) إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ وَاذْكُرْ رَبَّكَ إِذَا نَسِيتَ وَقُلْ عَسَى أَنْ يَهْدِيَنِ رَبِّي لِأَقْرَبَ مِنْ هَذَا رَشَدًا (24)
Artinya: “Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan tentang sesuatu: "Sesungguhnya aku akan mengerjakan ini besok pagi, ** kecuali (dengan menyebut): "Insya Allah". Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa dan katakanlah: "Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya dari pada ini.”
قَالَ لَا تُؤَاخِذْنِي بِمَا نَسِيتُ وَلَا تُرْهِقْنِي مِنْ أَمْرِي عُسْرًا (73)
Artinya: “Musa berkata: "Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku”
Pelajaran berikut yang bisa diambil yaitu tentang lupa. Seseorang yang lupa tidak dihukum karena ia lupa, baik itu yang berhubungan dengan hak-hak Allah ta’ala atau hak-hak manusia.
Kejadian-kejadian antara Nabi Musa dan Khidhr, seperti merusak perahu dan membunuh anak kecil, adalah perkara-perkara yang pada zahirnya adalah kemungkaran. Sehingga Nabi Musa mengambil hukum berdasarkan zahirnya, sedangkan hakikatnya sebenarnya hanyalah Allah ta’ala yang mengetahui. Sehingga Nabi tidak bisa tinggal diam ketika melihat sesuatu yang pada zahirnya adalah kemungkaran.
Ada satu kaidah yang ushul fiqh yang bisa diambil dari kisah ini adalah mencegah bahaya besar dengan melakukan bahaya yang lebih kecil. Kedah fiqihnya adalah “إذا تعارض مفسدتان روعي أعظمهما ضرراً بارتكاب أخفهما” Jika ada dua mafsadah/bahaya, maka bahaya besar ditinggalkan dan melakukan bahaya yang lebih kecil. Hal ini bisa dilihat ketika Khidhr membunuh anak kecil dan ini mudhorotnya lebih kecil dibandingkan dengan fitnah yang akan ditimpa oleh kedua orang tuanya jika anak itu dibiarkan hidup.
Pelajaran lainnya adalah tentang adab berbicara dan penisbatan lafaz kepada Allah. Keburukan tidak dinisbahkan kepada Allah ta’ala. Lupa tidak dinisbahkan kepada Allah ta’aa “وَمَا أَنْسَانِيهُ إِلَّا الشَّيْطَانُ أَنْ أَذْكُرَهُ” “dan tidak adalah yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali setan” tetapi dinisbahkan kepada syaithon. Dan juga dalam ayat “فَأَرَدْتُ أَنْ أَعِيبَهَا” “dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu”. Adapun kebaikan dinisbahkan kepada Allah ta’ala, seperti dalam firman Allah ta’ala “فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ” “maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu”.
Dalam kisah ini juga terdapat karakteristik seorang guru, di antaranya:
- Hamba Allah (فَوَجَدَا عَبْدًا مِنْ عِبَادِنَا), seorang guru harus mempunyai hubungan ibadah yang kuat dengan Rabb-nya.
- Mempunyai kasih sayang (آتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَا), seorang guru hendaklah penyayang, memiliki dengan kedekatan dengan muridnya.
- Seorang guru adalah panutan untuk diikuti (قَالَ لَهُ مُوسَى هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَى أَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا)
Kisah Nabi Musa dan Khidhr adalah kisah diabadikan oleh Al-Qur’an yang harus dipelajari oleh penuntut ilmu dan pengajar. Karena di dalamnya terkandung adab-adab mulia seorang murid dan guru dan mengambil karakteristik mulia kedua tokoh tersebut untuk diterapkan di dalam kehidupan nyata oleh masing-masing individu.
Download artikel ini: via google drive | box.com
Download artikel ini: via google drive | box.com
Referensi:
1. Sunan At-Timidzi
2. Tafsir Al-Munir, Dr. Wahbah Az-Zuhaili
Gabung dalam percakapan