Al-Wala’ dan al-Bara'
Al-wala’ artinya persahabatan, dekat. Sedangkan al-bara’ berarti bersih, bebas dari sesuatu. Kedua istilah ini jika digunakan dalam akidah Islam berarti dekat atau loyal pada orang beriman dan berlepas diri dari orang kafir. Inilah prinsip beragama seorang muslim.
Al-wala’ dan al-bara’ butuh dijelaskan karena prinsip seperti ini disikapi oleh sebagian orang secara berlebihan dan sebagian yang lain tak ambil peduli dengan prinsip tersebut sehingga rela mengorbankan akidah demi urusan dunia, harta, dan perut.
Prinsip loyal pada orang beriman telah dijelaskan dalam ayat,
﴿إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ﴾ [الحجرات: 10]
“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara.“
Dalam hadits, Nabi ﷺ bersabda,
«لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ» رواه البخاري (13) ومسلم (45)
“Salah seorang di antara kalian tidaklah dikatakan beriman hingga ia mencintai saudaranya (sesama muslim) sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.”
Mengenai sikap bara’ atau berlepas diri pada kekafiran disebutkan dalam ayat,
﴿يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ وَقَدْ كَفَرُوا بِمَا جَاءَكُمْ مِنَ الْحَقِّ﴾ [الممتحنة: 1]
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang, padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu.”
Dalam hadits dari Samurah bin Jundub, Rasulullah ﷺ bersabda,
مَنْ جَامَعَ الْمُشْرِكَ وَسَكَنَ مَعَهُ فَإِنَّهُ مِثْلُهُ «سنن أبي داود (2787)»
“Barang siapa yang berkumpul bersama orang musyrik dan tinggal bersamanya, maka ia semisal dengannya.”
Coba perhatikan peristiwa perang Badar yang terjadi pada 17 Ramadhan tahun kedua Hijriyah. Ketika itu 300-an kaum muslimin berhadapan dengan 1000-an orang kafir Quraisy. Perang tersebut terjadi karena berbeda prinsip akidah sehingga antara saudara dan kerabat bisa saling perang. Allah Ta’ala berfirman,
﴿هَذَانِ خَصْمَانِ اخْتَصَمُوا فِي رَبِّهِمْ فَالَّذِينَ كَفَرُوا قُطِّعَتْ لَهُمْ ثِيَابٌ مِنْ نَارٍ يُصَبُّ مِنْ فَوْقِ رُءُوسِهِمُ الْحَمِيمُ﴾ [الحج: 19]
“Inilah dua golongan (golongan mukmin dan golongan kafir) yang bertengkar, mereka saling bertengkar mengenai Tuhan mereka. Maka orang kafir akan dibuatkan untuk mereka pakaian-pakaian dari api neraka. Disiramkan air yang sedang mendidih ke atas kepala mereka.”
Ada kerabat yang saling membunuh dalam perang Badar disebutkan dalam ayat,
﴿لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ﴾ [المجادلة: 22]
“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang itu adalah bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, atau keluarga mereka.”
Dalam ayat, yang dimaksud “walau itu bapak mereka” adalah kisah Abu ‘Ubaidah yang membunuh ayahnya saat Perang Badar. “Walau itu anaknya” yaitu kisah seorang putra yang bernama ‘Abdurrahman yang dibunuh oleh bapak kandungnya dalam peperangan. “Walau itu saudaranya” yaitu kisah Mush’ab bin ‘Umair sewaktu ia membunuh saudaranya, ‘Ubaid bin ‘Umair. “Walau itu kerabatnya” yaitu kisah ‘Umar yang membunuh keluarga dekatnya. Begitu pula kisah Hamzah, Ali, dan ‘Ubaidah bin Al-Harits yang membunuh kerabatnya, yaitu ‘Utbah, Syaibah, dan Al-Walid bin ‘Utbah. (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 7:212-213)
Lihatlah, para sahabat mencontohkan bagaimana mereka mendahulukan akidah daripada hubungan kekeluargaan.
Namun, catatan yang perlu diperhatikan bahwa bukan berarti saat ini di saat di negeri kita begitu damai, kita malah ingin berperang dengan non-muslim yang tidak punya masalah dengan kita. Pelajaran yang bisa kita ambil dari kisah tadi adalah berpegang teguh dengan prinsip al-wala’ wal bara’ (loyal pada muslim, berlepas diri dari non-muslim).
Bagaimana bentuk berlepas diri (bara’) dan tidak loyal pada non-muslim?
Yaitu kita tidak mengganggu mereka ketika mereka menjalani ibadah. Namun, kita tak perlu mencampuri urusan agama dan ibadah mereka, turut serta dalam perayaan mereka.
Bukan berarti kita tidak berbuat baik pada non-muslim. Kalau itu kerabat atau tetangga kita, tetaplah berbuat baik untuk hal duniawi. Kita hanya tidak turut campur dalam urusan agama.
Prinsip yang kita bahas ini terdapat dalam surah Al-Kafirun ayat terakhir,
﴿لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ﴾ [الكافرون: 6]
“Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.”
Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah menjelaskan mengenai prinsip ‘lakum diinukum wa liya diin’, “Bagi kalian agama kalian, jangan kalian tinggalkan selamanya karena itulah akhir hidup yang kalian pilih dan kalian sulit melepaskannya, begitu pula kalian akan mati dalam di atas agama tersebut. Sedangkan untukku yang kuanut. Aku pun tidak meninggalkan agamaku selamanya. Karena sejak dahulu sudah diketahui bahwa aku tidak akan berpindah ke agama selain itu.” (Tafsir Ath-Thobari, 24:704)
Gabung dalam percakapan