Menikahi Wanita Hamil Karena Zina

Zina adalah dosa besar, perbuatan buruk yang mewajibkan untuk taubat dan istigfar. Akan tetapi tidak menjadi syarat sebuah pernikahan bahwa seorang wanita tidak pernah melakukan zina, itu adalah dosa besar yang hisabnya di hadapan Allah ta’ala.

Allahh Ta’ala dalam beberapa ayat telah menerangkan bahaya zina dan menganggapnya sebagai perbuatan amat buruk. Allah Ta’ala berfirman,

﴿وَلَا تَقْرَبُوا ‌الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا﴾ [الإسراء: 32]

“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.”

Hukum menikahi wanita hamil karena zina

Dalam masalah menikahi wanita yang telah dizinai, ada perbedaan pendapat di antara para ulama. Sebagian ulama mengatakan bahwa menikahi wanita tersebut sah. Sebagian ulama lainnya melarang hal ini. Kedua pendapat ini, sudah ada sejak zaman salaf.

Larangan menikahi wanita hamil karena zina

Ini adalah pendapat Imam Ahmad. Dalilnya adalah

﴿الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً ‌وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ﴾ [النور: 3]

“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin.”

Jika seseorang mengetahui bahwa wanita tersebut adalah wanita yang telah dizinai, maka ia boleh menikahi dirinya jika memenuhi dua syarat:

Pertama: Yang berzina tersebut bertaubat dengan sesungguhnya pada Allah Ta’ala.

Kedua: Istibro’ (membuktikan kosongnya rahim).

Jika dua syarat ini telah terpenuhi, maka wanita tersebut baru boleh dinikahi. Dalil yang mengharuskan adanya istibro’ adalah sabda Nabi ﷺ,

‌لَا ‌تُوطَأُ ‌حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ، وَلَا غَيْرُ ذَاتِ حَمْلٍ حَتَّى تَحِيضَ حَيْضَةً «سنن أبي داود» رقم: 2157 (2/ 248 ت محيي الدين عبد الحميد)

“Wanita hamil tidaklah disetubuhi hingga ia melahirkan dan wanita yang tidak hamil istibro’nya (membuktikan kosongnya rahim) sampai satu kali haidh.”

Redaksi hadits ini membicarakan tentang budak yang sebelumnya disetubuhi tuannya yang pertama, maka tuan yang kedua tidak boleh menyetubuhi dirinya sampai melakukan istibro’ yaitu menunggu sampai satu kali haidh atau sampai ia melahirkan anaknya jika ia hamil. Jadi jangan dipahami bahwa hadits ini membicarakan larangan untuk menyetubuhi istri yang sedang hamil.

Imam al-Mawadi menyebutkan, 

وذكر عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رِضْوَانُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَالْحَسَنِ الْبَصْرِيِّ أَنَّهَا قَدْ حَرُمَتْ عَلَيْهِ أَبَدًا فَلَا يَجُوزُ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا بِحَالٍ «الحاوي الكبير» (9/ 189)

Disebutkan dari Ali bin Abi Thalib radhiyallohu ‘anhu dan Hasan al-Bashri bahwa haram perempuan tersebut kepada lelaki itu, sehingga tidak boleh menikahinya.

Sah menikahi wanita hamil karena zina

Ini adalah pendapat jumhur ulama Hanafiyah, Syafiiyah dan Malikiyah. Tetapi Malikiyah mensyaratkan selesainya masih iddah untuk zina, supaya tidak bercampur air haram dan yang halal.

Imam al-Mawardi mengatakan,

الرجل إذا زنا بِامْرَأَةٍ ‌فَيَحِلُّ ‌لَهُ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا وَهُوَ قَوْلُ جمهور الصحابة والفقهاء «الحاوي الكبير» (9/ 189)

Lelaki jika berzina dengan perempuan, maka halal menikahinya. Ini adalah pendapat sebagian sahabat dan fuqoha.

Beliau melanjutkan, 

وَدَلِيلُنَا قَوْله تَعَالَى بَعْدَ ذِكْرِ الْمُحَرَّمَاتِ مِنْ ذَوَاتِ الْأَنْسَابِ: {وَأَحَلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ) {النساء: 24) فَكَانَ عَلَى عُمُومِهِ فِي الْعَفِيفَةِ وَالزَّانِيَةِ «الحاوي الكبير» (9/ 189)

Dalil kami adalah firman Allah ta’ala setelah menyebutkan wanita-wanita yang haram dinikahi dari jalur nasab, “Dan dihalalkan bagi kamu selain yang itu”, maka ini berlaku umum untuk wanita yang suci maupun berzina.

Dalam al-Majmu' Syarh al-Muhazzab, disebutkan,

وإن زنى بامرأة ‌لم ‌يحرم ‌عليه نكاحها لقوله تعالى (وأحل لكم ما وراء ذلكم) وَرَوَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عن رجل زنى بامرأة فأراد أن يتزوجها أو ابنتها، فقال لا يحرم الحرام الحلال إنما يحرم ما كان بنكاح ولا تحرم بالزنا أمها ولا ابنتها ولا تحرم هي على ابنه ولا على أبيه للآية والخبر. «المجموع شرح المهذب» (16/ 219 ط المنيرية)

Bila seorang laki-laki berzina dengan seorang perempuan maka tidak haram baginya menikahi perempuan yang dizinai itu, berdasarkan firman Allah “dihalalkan bagi kalian apa-apa yang selain itu semua”. Sayyidah Aisyah meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad ﷺ pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang berzina dengan seorang perempuan. Laki-laki itu ingin menikahi sang perempuan atau anak perempuannya. Maka Rasulullah bersabda “apa yang haram tidak menjadikan apa yang halal menjadi haram. Yang diharamkan hanyalah apa-apa yang terjadi karena nikah dan tidak haram karena zina menikahi ibu dan anak perempuan dari perempuan yang berzina. Juga perempuan yang berzina itu tidak haram dinikahi bagi anak laki-laki dan bapaknya laki-laki yang menzinai, berdasarkan ayat dan hadis.

Dalam al-Hawi al-Kabiir disebutkan,

روي ذَلِكَ عَنْ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَابْنِ عُمَرَ وَابْنِ عَبَّاسٍ وَجَابِرٍ فَرُوِيَ عَنْ أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ؛ إِذَا زَنَى رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ لَمْ يَحْرُمْ عَلَيْهِ نِكَاحُهَا «الحاوي الكبير» (9/ 189)

Pendapat ini diriwayatkan dari Abu Bakar, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Jabir. Diriwayatkan dari Abu Bakar radhiyallohu ‘anhu bahwa ia berkata, “Jika seseorang berzina dengan wanita, tidak haram baginya untuk menikahinya.”

وَرُوِيَ عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رجلاً تزوج امرأة وكان لها ابن عم مِنْ غَيْرِهَا وَلَهَا بِنْتٌ مِنْ غَيْرِهِ فَفَجَرَ الْغُلَامُ بِالْجَارِيَةِ وَظَهَرَ بِهَا حَمْلٌ، فَلَمَّا قَدِمَ عُمَرُ مَكَّةَ رَفَعَ إِلَيْهِ فَسَأَلَهُمَا فَاعْتَرَفَا، فَجَلْدَهُمَا عمر الحد وعرض أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَهُمَا فَأَبَى الْغُلَامُ «الحاوي الكبير» (9/ 189)

Diriwayatkan dari Umar radhiyallohu ‘anhu, bahwa seorang lelaki menikahi seorang perempuan, perempuan itu memiliki anak laki paman bukan dari dia, dan memiliki putri bukan dari lelaki itu. Anak laki tersebut berzina dengan putri tersebut dan tampak hamilnya. Ketika Umar datang ke Mekah, perkara tersebut disampaikan, lalu Umar bertanya dan kedua orang tersebut mengaku. Umar pun mencambuk keduanya dan menawarkan untuk mengumpulkan keduanya, tetapi anak tersebut tidak mau.

Dalam al-Masu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah,

وَإِذَا تَزَوَّجَ الرَّجُل امْرَأَةً وَهِيَ حَامِلٌ مِنَ الزِّنَا جَازَ نِكَاحُهُ عِنْدَ أَبِي حَنِيفَةَ وَمُحَمَّدٍ، وَلَكِنْ لَا يَجُوزُ وَطْؤُهَا حَتَّى تَضَعَ، لِئَلَاّ يَصِيرَ سَاقِيًا مَاءَهُ زَرْعَ غَيْرِهِ، لِقَوْل الرَّسُول صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَحِل لاِمْرِئٍ يُؤْمِنُ بِاَللَّهِ وَالْيَوْمِ الآْخِرِ أَنْ يَسْقِيَ مَاءَهُ زَرْعَ غَيْرِهِ وَقَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تُوطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ. فَهَذَا دَلِيلٌ عَلَى امْتِنَاعِ وَطْئِهَا حَتَّى تَضَعَ حَمْلَهَا. 

خِلَافًا لِلشَّافِعِيَّةِ الَّذِينَ يَقُولُونَ بِجَوَازِ النِّكَاحِ وَالْوَطْءِ لِلْحَامِل مِنْ زِنًا عَلَى الأَصَحِّ إِذْ لَا حُرْمَةَ لَهُ «الموسوعة الفقهية الكويتية» (29/ 338)

Jika seorang laki menikahi wanita hamil karena zina, maka boleh menikahinya menurut Abu Hanifah dan Muhammad, tetapi tidak boleh menggaulinya sampai ia melahirkan, supaya tidak mencampur air mani orang lain, sebagaimana sabda Nabi ﷺ, “Tidak halal bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir menuangkan air maninya pada tanaman orang lain”. Dan juga sabda Nabi ﷺ, “Wanita hamil tidak digauli sampai ia melahirkan.” Ini dalil larangan menggaulinya sampai melahirkan.

Ini berbeda dengan pendapat Syafi’iyah, bahwa boleh menikahinya dan menggaulinya menurut pendapat yang lebih shahih, karena tidak ada kehormatan.

Masalah ini ada pembahasan iddah wanita yang berzina, secara ringkas seperti berikut ini:

1- Hanafiyah dan Syafi’iyah: tidak iddah, baik ia hamil maupun tidak. Sehingga perempuan tersebut boleh dinikahi. Tetapi Hanafiyah tidak membolehkan untuk menggaulinya, supaya tidak bercampur dengan air orang lain.

2- Pendapat mu’tamad Malikiyah dan Hanabilah: iddahnya adalah iddah talak biasa, selama tiga kali haid.

3- Pendapat lain dari Malikiyah dan Hanabilah: iddahnya dengan mengosongkan rahim satu kali haid.

Lengkapnya silakan lihat al-Masu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah (29/337), pembahasan tentang عدة الزانية.

Status anak zina

Anak zina tidak dinisbahkan kepada bapak biologisnya, tetapi kepada ibunya.

واتفق الجمهور على أن أولاد ‌الزنا لا يلحقون بآبائهم «بداية المجتهد ونهاية المقتصد» (4/ 142)

Jumhur ulama berpendapat anak zina tidak dinisbahkan kepada bapaknya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْوَلَدُ ‌لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ «صحيح البخاري» رقم: 2105، ...

“Anak dinasabkan kepada pemilik ranjang. Sedangkan laki-laki yang menzinai hanya akan mendapatkan kerugian.”

واتفقوا على أن الولد لا يلحق بالفراش في أقل من ستة أشهر «بداية المجتهد ونهاية المقتصد» (4/ 142)

Para ulama sepakat bahwa anak tidak dinasabkan ke bapaknya (pemilik ranjang/firosy), jika hamil kurang dari enam bulan.

Para ulama fiqih menyepakati bahwa umur bayi di dalam kandungan ibunya minimal enam bulan. Kurang dari itu, anak tidak dinisbahkan kepada bapaknya.

Jika anak lahir setelah 6 bulan kehamilan, maka nasab sang anak diberikan kepada sang bapak dan tidak mungkin dihilangkan kecuali dengan li’an.

Tentang perdebatan nasab anak zina, Imam al-Mawardi menyebutkan, 

فَأَمَّا إِنْ كَانَتِ الزانية ‌خلية ‌وليست فراشا لأحد يلحقها ولدها فمذهب الشافعي أَنَّ الْوَلَدَ لَا يَلْحَقُ بِالزَّانِي، وَإِنِ ادَّعَاهُ وَقَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ: يَلْحَقُهُ الْوَلَدُ إِذَا ادَّعَاهُ بعد قيام البنية وبه قال ابن سيرين وإسحاق ابن رَاهَوَيْهِ وَقَالَ إِبْرَاهِيمُ النَّخَعِيُّ يَلْحَقُهُ الْوَلَدُ إِذَا ادعاه بعد الحد ويلحقه إذا ملك الموطوة وَإِنْ لَمْ يَدِّعِهِ وَقَالَ أبو حنيفة إِنْ تَزَوَّجَهَا قَبْلَ وَضْعِهَا وَلَوْ بِيَوْمٍ لَحِقَ بِهِ الْوَلَدُ، وَإِنْ لَمْ يَتَزَوَّجْهَا لَمْ يَلْحَقْ بِهِ «الحاوي الكبير» (8/ 162)

Jika perempuan itu kosong, yakni tidak menikah sampai  persalinan, maka anak itu dinisbahkan kepadanya. Menurut Madzhab Syafi’i, anak itu tidak dinisbahkan kepada lelaki yang berzina meskipun ia mengakuinya. Menurut Al-Hasan Al-Bashri, hal itu dimungkinkan jika lelaki tersebut mengakuinya disertai bukti. Pendapat ini dipakai oleh Ibnu Sirin dan Ibnu Rahawaih. Ibrahim An-Nakha’i mengatakan, anak itu dinisbahkan kepada seorang lelaki bila ia mengakuinya setelah sanksi had dan anak itu dinisbahkan kepada seorang lelaki bila ia memiliki budak perempuan meskipun ia tak mengakui bayi itu sebagai anaknya. Imam Hanafi mengatakan, anak itu dinisbahkan kepada seorang lelaki yang menikahi ibunya meskipun sehari sebelum persalinan. Tetapi jika lelaki itu tidak menikahi ibunya, maka anak itu tidak bisa dinisbahkan kepadanya,

Untuk tambahan penjelasan, silakan buka link-link berikut: 1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6


Jauhi Zina
guru ngaji & bahasa arab