Hukum Menghapus Air Dari Anggota Wudhu

Pembahasan tentang menghapus, menyeka, mengelap atau mengeringkan air wudhu dengan handuk atau lainnya disebut dengan istilah tansyif (التنشيف). Perbedaan hukum pada masalah ini antara makruh, boleh, dan khilaf aula (menyelisihi yang lebih utama).

Pertama:

Hukum tansyif adalah makruh, pendapat ini diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah, Abdurrahman bin Abi Laila, Said bin Al-Musaayib, An-Nakhoi, Mujahid, Abul Aliyah. Makruh pada wudhu saja tidak pada mandi, ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Imam An-Nawawi (wafat: 676 H) dalam Al-Majmu’: 

وَحَكَى كَرَاهَتَهُ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ وَعَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي لَيْلَى وَسَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ وَالنَّخَعِيِّ وَمُجَاهِدٍ وَأَبِي الْعَالِيَةِ، وَعَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ كَرَاهَتُهُ فِي الْوُضُوءِ دُونَ الْغُسْلِ «المجموع شرح المهذب» (1/ 462)

Dalam mazhab Hanbali juga makruh dalam salah satu riwayatnya. Disebutkan dalam kitab Al-Inshof:

وذكَرُوا رِوايَةَ كَراهَةٍ ‌تَنْشيفِ الأعْضاءِ «الإنصاف» (6/ 93)

Dalil yang digunakan :

عَنْ ‌مَيْمُونَةَ قَالَتْ: «وَضَعَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَضُوءًا لِجَنَابَةٍ، فَأَكْفَأَ بِيَمِينِهِ عَلَى شِمَالِهِ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا، ثُمَّ غَسَلَ فَرْجَهُ، ثُمَّ ضَرَبَ يَدَهُ بِالْأَرْضِ أَوِ الْحَائِطِ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا، ثُمَّ مَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ، وَغَسَلَ وَجْهَهُ وَذِرَاعَيْهِ، ثُمَّ أَفَاضَ عَلَى رَأْسِهِ الْمَاءَ، ثُمَّ غَسَلَ جَسَدَهُ، ثُمَّ تَنَحَّى فَغَسَلَ رِجْلَيْهِ. قَالَتْ: ‌فَأَتَيْتُهُ ‌بِخِرْقَةٍ، فَلَمْ يُرِدْهَا فَجَعَلَ يَنْفُضُ بِيَدِهِ» رَوَاهُ الۡبُخَارِيُّ ، وَمُسۡلِمٌ

dari [Maimunah] berkata,: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. mengambil seember air untuk mandi janabat. Beliau menuangkan dengan telapak tangan kanannya ke atas telapak tangan kirinya lalu mencucinya dua kali atau tiga kali. Lalu mencuci kemaluannya lalu memukulkan tangannya ke tanah atau dinding dua kali atau tiga kali. Kemudian berkumur-kumur dan memasukkan air ke hidung lalu mencuci wajahnyaKemudian berkumur-kumur dan memasukkan air ke hidung lalu mencuci wajahnya dan kedua lengannya. Kemudian mengguyurkan air ke atas kepalanya lalu membasuh badannya dan mengakhirinya dengan membasuh kedua telapak kakinya". 'Aisyah berkata,: "Maka aku berikan potongan kain tapi Beliau tidak memerlukannya, dan Beliau mengeringkan (membersihkan air dari) badannya dengan tangannya".

Kedua:

Tansyif hukumnya boleh. Ini pendapat Hanafiyah, Malikiyah, Hanabilah, salah satu pendapat dalam mazahab Syafi’i.

Imam An-Nawawi (wafat: 676 H) menyebutkan,

وَحَكَى ابْنُ الْمُنْذِرِ إبَاحَةَ التَّنْشِيفِ عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ وَالْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ وَأَنَسِ بْنِ مَالِكٍ وَبَشِيرِ بْنِ أَبِي مَسْعُودٍ وَالْحَسَنِ الْبَصْرِيِّ وَابْنِ سِيرِينَ وَعَلْقَمَةَ وَالْأَسْوَدِ وَمَسْرُوقٍ وَالضَّحَّاكِ وَمَالِكٍ وَالثَّوْرِيِّ وَأَصْحَابِ الرَّأْيِ وَأَحْمَدَ وَإِسْحَاقَ «المجموع شرح المهذب» (1/ 462)

Ibnul Munzir menyebutkan bolehnya tansyif dari Utsman bin Affan, Hasan bin Ali, Anas bin Malik, Basyir bin Abi Mas’ud,  Hasan Al-Bashri, Ibnu Sirin, Alqomah, Al-Aswad, Masruq, Ad-Dhohhak, Malik, At-Tsauri, Ulama ra’yu, Ahmad dan Ishaq. 

Di antara dalil dari hadits yang digunakan adalah 

عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: «كَانَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خِرْقَةٌ يُنَشِّفُ ‌بِهَا ‌بَعْدَ ‌الوُضُوءِ» رواه الترمذي (53)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki handuk kecil yang beliau gunakan untuk mengeringkan anggota badan setelah wudhu. Hadits ini dinilai lemah (dhoif)

Ketiga:

Tansyif lebih baik ditinggalkan. Ini adalah pendapat dalam mazhab Syafi’i. Imam An-Nawawi mengatakan,

فِي مَذَاهِبِ السَّلَفِ فِي التَّنْشِيفِ قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ الصَّحِيحَ فِي مَذْهَبِنَا أَنَّهُ يُسْتَحَبُّ تَرْكُهُ وَلَا يُقَال التَّنْشِيفُ مَكْرُوهٌ «المجموع شرح المهذب» (1/ 462)

Mazhab salaf dalam tansyif, telah kami sebutkan bahwa yang shahih dalam mazhab adalah meninggalkan tansyif, dan tidak dikatakan makruh.

Secara rinci pendapat mazhab Syafi’i dalam hal ini ada lima pendapat, disebutkan dalam kitab Raudhotut Tholibin :

الْأَصَحُّ أَنَّهُ يُسْتَحَبُّ تَرْكُ ‌التَّنْشِيفِ. وَالثَّانِي: لَا يُسْتَحَبُّ، وَلَا يُكْرَهُ. وَالثَّالِثُ: يُكْرَهُ ‌التَّنْشِيفُ، وَيُسْتَحَبُّ تَرْكُهُ. وَالرَّابِعُ: يُكْرَهُ فِي الصَّيْفِ دُونَ الشِّتَاءِ. وَالْخَامِسُ: يُسْتَحَبُّ «روضة الطالبين وعمدة المفتين» (1/ 63)

- Paling shahih adalah dianjurkan untuk meninggalkan tansyif

- Tidak disunahkan/dianjurkan dan tidak makruh

- Makruh dan dianjurkan untuk ditinggalkan

- Makruh di musim panas, tidak di musim dingin

- Disunahkan/dianjurkan

Dalam pandangan Syafi’iyah yang masyhur adalah khilaful aula (خلاف الأولى) atau menyelisihi yang lebih utama. Karena dalam pendapat masyhurnya adalah lebih dianjurkan untuk meninggalkan tansyif.

Definisi Khilaful Aula (خلاف الأولى) / Menyelisihi yang lebih utama

Disebutkan oleh Imam Az-Zarkasyi (wafat: 794 H) dalam البحر المحيط, bahwa khilaful aula terletak antara boleh dan makruh (وَاسِطَةٌ بَيْنَ الْكَرَاهَةِ وَالْإِبَاحَةِ), beliau mencontohkan tansyif dalam wudhu’.

أَنَّ ‌خِلَافَ ‌الْأَوْلَى قِسْمٌ مِنْ الْمَكْرُوهِ، وَدَرَجَاتُ الْمَكْرُوهِ تَتَفَاوَتُ كَمَا فِي السُّنَّةِ «البحر المحيط في أصول الفقه» (1/ 400)

Khilaful aula adalah bagian dari makruh tapi tingkatan makruh berbeda-beda seperti sunah.


Kesimpulan:

Disebutkan oleh Imam an-Nawawi (wafat: 676 H),

وَنَقَلَ الْمَحَامِلِيُّ الْإِجْمَاعَ عَلَى أَنَّهُ لَا يَحْرُمُ ‌وَإِنَّمَا ‌الْخِلَافُ ‌فِي ‌الْكَرَاهَةِ وَاَللَّهُ أَعْلَمُ «المجموع شرح المهذب» (1/ 462)

Imam al-Mahamili menyebutkan bahwa ijma’ ulama bahwa tidak diharamkan melakukan tansyif, khilaf terjadi pada kemakruhannya.

Ref. link: alukah, islamweb, khiaful aula



guru ngaji & bahasa arab