Pendapat Ulama Tentang Mencium Mushaf Al-Qur’an
Ulama berbeda pendapat tentang hukum mencium mushaf Al-Qur’an.
Di antara mereka ada yang memberikan hukum mustahab/sunah.
Di dalam Al-Itqon disebutkan,
يُسْتَحَبُّ تَقْبِيلُ الْمُصْحَفِ لِأَنَّ عِكْرِمَةَ بْنَ أَبِي جَهْلٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَانَ يَفْعَلُهُ وَبِالْقِيَاسِ عَلَى تَقْبِيلِ الْحَجَرِ الْأَسْوَدِ، ذَكَرَهُ بَعْضُهُمْ، وَلِأَنَّهُ هَدِيَّةٌ مِنَ اللَّهِ تَعَالَى فَشَرَعَ تَقْبِيلَهُ كَمَا يُسْتَحَبُّ تَقْبِيلُ الْوَلَدِ الصَّغِيرِ - الإتقان في علوم القرآن (4/ 189)
Disunahkan mencium mushaf karena sahabat ‘Ikrimah Bin Abu Jahal radhiyallohu ‘anhu melakukannya. Dan dengan diqiyaskan pada mencium Hajar Aswad dan karena mushaf adalah pemberian dari Allah maka disyariatkan menciumnya seperti kesunahan mencium anak kecil.
Disebutkan dalam Hasyiyah Al-Bujairami,
وَاسْتَدَلَّ السُّبْكِيُّ عَلَى جَوَازِ تَقْبِيلِ الْمُصْحَفِ بِالْقِيَاسِ عَلَى تَقْبِيلِ الْحَجَرِ الْأَسْوَدِ وَيَدِ الْعَالِمِ وَالصَّالِحِ وَالْوَالِدِ؛ إذْ مِنْ الْمَعْلُومِ أَنَّهُ أَفْضَلُ مِنْهُمْ - حاشية البجيرمي على الخطيب = تحفة الحبيب على شرح الخطيب (1/ 373)
“Imam As-Subki berdalil tentang bolehnya mencium mushaf dengan qiyas, diqiyaskan dengan mencium hajar aswad, tangan orang alim, sholeh dan orang tua. Karena diketahui bahwa itu (mushaf) lebih afdhol/utama mereka.”
Yang lain mengatakan, boleh mencium mushaf, ini adalah pendapat masyhur di kalangan mazhab Hanbali. Disebutkan dalam Kussyaful Qina’,
(وَيُبَاحُ تَقْبِيلُهُ) قَالَ النَّوَوِيُّ فِي التِّبْيَانِ: رَوَيْنَا فِي مُسْنَدِ الدَّارِمِيِّ بِإِسْنَادٍ صَحِيحٍ عَنْ ابْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ أَنَّ عِكْرِمَةَ بْنَ أَبِي جَهْلٍ كَانَ يَضَعُ الْمُصْحَفَ عَلَى وَجْهِهِ، وَيَقُولُ كِتَابُ رَبِّي كِتَابُ رَبِّي. - كشاف القناع عن متن الإقناع (1/ 137)
Dan diperbolehkan menciumnya, imam An-Nawawi dalam At-Tibyan berkata, kami meriwayatkan di Musnad Ad-Darimi dengan sanad yang shahih dari Ibnu Abi Mulaikah, bahwa Ikrimah bin Abi Jahl mencium mushaf di wajahnya, dan berkata, “kitab Tuhanku, kitab Tuhanku”
Di dalam al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah disebutkan,
ذَكَرَ الْحَنَفِيَّةُ: وَهُوَ الْمَشْهُورُ عِنْدَ الْحَنَابِلَةِ - جَوَازُ تَقْبِيل الْمُصْحَفِ تَكْرِيمًا لَهُ، وَهُوَ الْمَذْهَبُ عِنْدَ الْحَنَابِلَةِ، وَرُوِيَ عَنْ أَحْمَدَ اسْتِحْبَابُهُ، لِمَا رُوِيَ عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ: كَانَ يَأْخُذُ الْمُصْحَفَ كُل غَدَاةٍ وَيُقَبِّلُهُ، وَيَقُول: عَهْدُ رَبِّي وَمَنْشُورُ رَبِّي عَزَّ وَجَل، وَكَانَ عُثْمَانُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يُقَبِّل الْمُصْحَفَ وَيَمْسَحُهُ عَلَى وَجْهِهِ - الموسوعة الفقهية الكويتية (13/ 133)
Kalangan Hanafiyyah (pendapat ini juga masyhur di kalangan Hanabilah) bolehnya mencium mushaf sebagai bentuk penghormatan padanya, pendapat ini juga di kalangan Hanabilah, bahkan diriwayatkan dari Imam Ahmad akan kesunahannya berdasarkan riwayat dari Umar radhiyallohu ‘anhu, “Umar setiap pagi mengambil mushaf dan menciumnya seraya berkata, “Perjanjian dan surat dari Tuhanku azza wa jalla”. Dan Utsman radhiyallohu ‘anhu mencium mushaf dan mengusapkan pada muka mukanya.”
Di kalangan Malikiyah, makruh mencium mushaf. Disebutkan dalam Mukhtashor Kholil Lil Khurasyi,
وَيُكْرَهُ تَقْبِيلُ الْمُصْحَفِ - شرح مختصر خليل للخرشي (2/ 326)
“Makruh mencium mushaf.”
Diriwayaktan dari imam Ahmad, bahwa beliau tawaqquf dalam masalah ini. Artinya berdiam sampai ditemukan dalil.
وَرُوِيَ كَذَلِكَ عَنْ أَحْمَدَ: التَّوَقُّفُ فِي تَقْبِيل الْمُصْحَفِ - الموسوعة الفقهية الكويتية (13/ 133)
“Diriwayatkan pula dari imam Ahmad, beliau tawaqquf dalam masalah mencium mushaf.”
Ada juga yang berpendapat ini adalah bid’ah, pengarang ad-Durrul Mukhtar menukil dari Al-Qunyah,
وَفِي الْقُنْيَةِ فِي بَابِ مَا يَتَعَلَّقُ بِالْمَقَابِرِ تَقْبِيلُ الْمُصْحَفِ قِيلَ بِدْعَةٌ - الدر المختار وحاشية ابن عابدين (رد المحتار) (6/ 384)
“Disebutkan dalam Al-Qunyah, pada bab yang berhubungan dengan kubur, bahwa mencium mushaf adalah bid’ah.” Kemudian sesudah itu menyebutkan sanggahannya.
Yang juga berpendapat bahwa ini adalah adalah Syaikh Albani.
Dalam fatwa Syaikh bin Baz, beliau ditanya tentang mencium Al-Qur’an. Beliau menjawab,
لا حرج في ذلك، لكن تركه أفضل لعدم الدليل، وإن قبله فلا بأس، وقد روي عن عكرمة بن أبي جهل ـ رضي الله عنه ـ أنه كان يقبله ويقول: هذا كلام ربي، لكن هذا لا يحفظ عن غيره من الصحابة ولا عن النبي صلى الله عليه وسلم، وفي روايته نظر، لكن لو قبله من باب التعظيم والمحبة لا بأس ولكن ترك ذلك أولى. - من فتاوى مجلة الدعوة العدد: 1643
“Itu tidak ada masalah, tapi meninggalkannya lebih utama, karena tidak ada dalil. Telah diriwayatkan dari Ikrimah bin Abi Jahl radhiyallohu ‘anhu bahwa beliau mencium mushaf, dan berkata, “Ini Kalam Tuhanku.” Tetapi didapatkan dari selain beliau dari kalangan sahabat, juga dari Nabi ﷺ. Riwayat ini perlu diteliti lebih lanjut. Tetapi, seandainya ia mencium, karena mengagungkan dan kecintaannya, maka itu tidak ada masalah, tetapi meninggalkannya lebih utama.”
Gabung dalam percakapan