Ikhlas Akan Memperberat Timbangan
Dari Abu Umamah al-Bahili rahimahulloh berkata, seorang laki-laki datang kepada Nabi lalu berkata, “Bagaimana pendapat Engkau tentang seseorang yang berperang mengharapkan pahala dan ketenaran, apakah bagiannya? Rasulullah ﷺ menjawab, “Tidak ada sesuatu pun untuknya.” Ia mengulangnya tiga kali, Rasulullah tetap berkata kepadanya, “Tidak ada sesuatu pun untuknya.” Lalu beliau melanjutkan, “Sesungguhnya Allah tidak menerima perbuatan kecuali yang dikerjakan dengan ikhlas dan mengharapkan ridha-Nya.”[1]
Abullah bin al-Mubarak rahimahulloh berkata, “Banyak perbuatan kecil yang menjadi besar karena niat dan banyak perbuatan besar menjadi kecil karena niat.”[2]
Maimun bin Mahran rahimahulloh berkata, “Sesungguhnya amal-amal kalian sedikit, maka ikhlaslah dalam yang sedikit ini.”[3]
Dalil-dalil tentang dilipatgandakannya pahala orang-orang ikhlas banyak dan diketahui, diantaranya:
a) Diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallohu ‘anhu bahwasannya Rasulullah ﷺ bersabda, “Satu dirham melebihi seribu dirham.” Ia bertanya, “Bagaimana itu?” Beliau menjawab, “Seseorang mempunyai dua dirham lalu bersedekah dengan salah satunya dan seseorang pergi menuju hartanya dan mengambil dari hartanya seribu dirham untuk disedekahkan.”[4]
Mengapa dirhamnya orang fakir lebih berat dalam timbangan? Karena ia memiliki dua dirham bukan dua ribu supaya kita katakan ia memiliki sesuatu yang mencukupinya, dua dirham sebenarnya tidak cukup untuk menutupi kebutuhan, bagaimana seandainya ia bersedekah dengan salah satunya? Lalu mengapa ia bersedekah sedangkan ia orang yang butuh? Boleh jadi sebabnya adalah keikhlasannya kepada Allah dan mengedepankan orang yang lebih miskin dari dia.
Oleh karena itu, diriwayatkan dari Abu Hurairah berkata, “Wahai Rasulullah sedekah manakah yang lebih baik?” Beliau menjawab, “Pemberian orang yang kekurangan, dan dahulukanlah orang yang wajib kamu nafkahi.”[5] Dia memiliki sedikit harta tetapi ia tetap bersedekah sesuai dengan kemampuannya.
b) Diriwayatkan dari Shuhaib bin ar-Rumi radhiyallohu ‘anhu bahwasannya Rasulullah ﷺ bersabda, “Shalat sunah seseorang ketika tidak dilihat oleh manusia setara dengan duapuluh lima shalatnya ketika dilihat manusia.”[6]
c) Dari Abu Said al-Khudri radhiyallohu ‘anhu bahwasannya Rasulullah ﷺ bersabada, “Shalat seseorang dengan berjamaah setara dengan duapuluh lima shalat, jika ia shalat di gurun kemudian ia menyempurnakan ruku dan sujudnya, maka setara dengan lima puluh shalat.”[7]
Kenapa ia shalat sendiri? Tidak ada yang mengingatkannya untuk shalat baik azan maupun teman? Kenapa ia menyempurnakan ruku dan suju serta shalat dengan tenang? Karena ia berbuat degan ikhlas untuk Allah dan merasakan pengawasan-Nya, maka ia mendapatakan pahala yang berlipat.
Oleh karena itu, Salamah bin Dinar rahimahulloh berkata, “Sembunyikanlah kebaikanmu sebagaimana kamu sangat menyembunyikan keburukanmu.”[8]
d) Mengucapkan syahadatain dengan ikhlas sebagaimana hadits shahibul bithoqoh (pemilik kartu) sebelumnya, Ibnu Taimiyah rahimahulloh mengomentari hadits tersebut, “Ini adalah keadaan orang yang mengucapkannya dengan ikhlas dan benar sebagaimana orang tersebut mengucapkannya, jika tidak maka pelaku dosa besar yang masuk neraka semuanya mengucapkan lá iláha illalláh, akan tetapi ucapan mereka tidak lebih kuat dari kesalahan-kesalahan mereka sebagaimana ucapan pemilik kartu.”[9]
[1] HR. an-Nasa’i (3140), at-Tabrani dalam al-Kabír (7628)
[2] Jamiul Ulum wal Hikam karangan Ibnu Rajab al-Hanbali, tahqiq Syuaib al-Arnauth dan Ibrahim Bajis (1/71)
[3] Hilyatul Auliyá’ wa Thabaqátul Ashfiyá’ karangan Abu Nuaim (4/92)
[4] HR. Imam Ahmad -al-Musnad- (8710), an-Nasa’i (2527), al-Hakim (1519), Ibnu Hibban (3347), Ibnu Khuzaimah (2443)
[5] HR. Imam Ahmad -al-Fathur Rabbáni- (9/165), Abu Daud dan ini adalah lafaz riwayat beliau (1677), an-Nasa’i (2526), Ibnu Hibban (3346), Ibnu Khuzaimah (2444), al-Hakim (1509), al-Baihaqi (7561)
[6] HR. Abu Ya’la dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahíh Al-Jámi (3821)
[7] HR. Abu Daud (560), Ibnu Hibban (1749), al-Hakim (753)
[8] Hilyatul Auliyá’ wa Thabaqátul Ashfiyá’ karangan Abu Nuaim (3/240)
[9] Minhájus Sunnah an-Nabawiyyah Ibnu Taimiah (3/182) dan Madárijus Sálikín Ibnul Qoyyim al-Jauziyah (1/332)
Gabung dalam percakapan