Rukyah Hilal

Rukyah Hilal dalam pandangan mazhab fiqih.
Hilal (هلال) adalah bulan di awal kemunculannya di setiap bulan, di malam pertama atau kedua di setiap bulan. Dalam istilah hilal adalah bagian yang terlihat bercahaya dari bulan di malam pertama. Hilal diterjemahkan pula dengan bulan sabit.

Rukyah (رؤية) adalah mengetahui mengetahui sesuatu dengan indra pandangan (إدراك الشيء بحاسة البصر). Ibnu Sayyidah mengatakan rukyah adalah melihat dengan mata dan hati (النظر بالعين والقلب).

Yang dimaksud dengan rukyah hilal (رؤية الهلال) melihat hilal dengan dengan mata setelah terbenamnya matahari hari ke-29/malam ke-30 oleh orang yang bisa diterima informasinya dan diterima persaksiannya, sehingga awal Ramadhan ditetapkan oleh rukyahnya.[1]

Dalam penetapan hilal Ramadhan terdapat tiga pendapat:[2] 
1. Rukyah oleh orang banyak
2. Rukyah oleh dua orang
3. Rukyah oleh satu orang

Pendapat Hanafiyah (mazhab Hanafi)

Pertama,
Jika langit cerah, rukyah harus dilakukan oleh orang banyak untuk menentukan Ramadhan dan hari raya. Jumlah orang yang melihat adalah jumlah menurut syariat yang diserahkan perkiraannya kepada imam/penguasa.

Kedua,
Jika langit tidak cerah karena mendung atau lainnya, maka rukyah cukup oleh imam/penguasa dengan satu persaksian oleh seorang muslim yang adil, laki atau perempuan. Adil adalah yang kebaikannya lebih banyak dari keburukannya atau yang tertutup keadaannya.

Orang yang melihat hilal sendiri, ia berpuasa sendiri, walaupun imam/pemerintah tidak menerima syahadat atau persaksiannya.

Tidak mengambil pendapat ahli nujum dan hisab, karena ini bertentangan dengan syariat Nabi Muhammad ﷺ, walau itu benar. Karena kita tidak diperintahkan secara syariat kecuali dengan rukyah biasa.

Pendapat Malikiyah (mazhab Maliki)

Penetapan hilal Ramadhan dalam tiga bentuk:

Pertama,
Dilihat oleh orang banyak walaupun mereka tidak adil, sejumlah orang yang tidak mungkin semuanya berdusta. Tidak disyaratkan laki, merdeka, atau adil.

Kedua,
Dilihat dua orang adil atau lebih, untuk hilal puasa dan idul fitri, cuaca cerah atau mendung. Adil adalah laki-laki merdeka, balig, berakal, tidak berbuat dosa besar, tidak bersikeras dalam dosa kecil, tidak melakukan yang merusak akhlaknya.
Tidak wajib puasa ketika langit mendung jika hilal dilihat satu orang adil saja, atau satu atau doa orang perempuan. Orang yang melihat hilal tersebut wajib berpuasa.

Ketiga,
Dilihat oleh satu orang adil, ini berlaku untuk dirinya sendiri atau orang yang ia beri tahu, dan orang tersebut bukan orang memperhatikan masalah hilal. Adapun orang yang memperhatikan hilal, bagi mereka tidak wajib berpuasa. Imam/penguasa tidak boleh menetapkan hilal karena rukyah satu orang saja.

Wajib bagi yang melihat hilal untuk melaporkan rukyahnya ke imam/pemerintah dan bersaksi.
Adapun hilal Syawal ditetapkan dengan rukyah oleh orang banyak yang tidak mungkin berdusta atau dengan rukyah dua orang yang adil.

Hilal tidak bisa ditetapkan dengan perkataan ahli nujum. Menggunakan alat falak tidak diperbolehkan, walaupun benar.

Pendapat Syafi’iyah (mazhab Syafi’i)

Hilal Ramadhan dan Syawal ditetapkan dengan rukyah satu orang yang adil, walaupun ia tidak diketahui keadaan sebenarnya, langit dalam keadaan cerah atau mendung.
Syarat orang yang melihat hilal adalah adil, muslim, balig, berakal, merdeka, laki-laki. Orang yang melihat hilal mengucapkan asyhadu (أشهد) yang artinya aku bersaksi. Rukyah hilal tidak bisa diterima dari orang fasik, anak kecil, orang gila, budak, dan perempuan. Dalilnya bahwa Ibnu Umar telah melihat hilal dan memberitahukan Nabi ﷺ,

تراءَى الناسُ الهلالَ فأخبرتُ النبيَّ ﷺ أني رأيتُه، فصام وأمر بالصيامِ

“Orang-orang melihat hilal, kemudian aku memberitahukan Nabi ﷺ bahwa aku melihatnya, beliau pun berpuasa, dan menyuruh untuk berpuasa.” HR. Abu Daud [2342], ad-Darimi [1691], Ibnu Hibban [3447]

جاءَ أعرابيٌّ إلى النبيِّ ﷺ فقالَ : إنِّي رأيتُ الهلالَ يعني رمضانَ فقالَ أتشهدُ أنْ لا إلهَ إلا اللهُ ؟ قال : نعمْ قال : أتشهدُ أنَّ محمدًا رسولُ اللهِ ؟ قال : نعمْ قال : يا بلالُ أذنْ في الناسِ فلْيصومُوا غدًا

Seorang Badui datang kepada Nabi ﷺ, lalu berkata, “Sesungguhnya aku melihat Hilal” yaitu hilal Ramadhan. Nabi berkata, “Apakah kamu bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah” Ia menjawab, “Ya”, Nabi bertanya lagi, “Apakah kamu bersaksi bahwa Muhammad Rasulullah”, Ia menjawab “Ya”. Nabi pun berkata kepada Bilal, “Umumkan kepada manusia untuk berpuasa besok.” HR. Abu Daud [2340], at-Tirmidzi [691], an-Nasa’i [2113], Ibnu Majah [1652]

Adapun orang yang melihat hilal langsung, maka ia wajib berpusa, walaupun ia fasik (bukan orang adil), atau tidak bersaksi di hakim, atau ia bersaksi tapi tidak diterima persaksiannya. Begitu pula wajib berpusa orang yang mempercayainya.

Pendapat Hanabilah (mazhab Hambali)

Untuk rukyah hilal Ramadhan cukup dengan satu saksi yang adil lahir dan batin, laki atau perempuan, merdeka atau budak, walaupun ia tidak mengatakan “أشهد” “شهدت” yang artinya aku bersaksi. Tidak diterima perkataan anak kecil yang mumayyiz dan orang yang tidak diketahui keadaan aslinya. Dalilnya adalah hadis Ibnu Umar di atas dan juga Nabi juga menerima berita dari orang Badui pada hadis di atas.

Adapun hilal Syawal untuk idul fitri dan juga bulan-bulan yang lain, harus dengan dua orang aki yang adil dan bersaksi.

Seperti mazhab yang lain, tidak wajib berpuasa dengan hisab dan nujum, walaupun banyak benarnya, karena tidak ada sandarannya dari syariat.

Kesimpulan:
  • Mazhab Hanafi disyaratkan yang melihat hilal adalah banyak orang jika langit cerah, dan cukup satu jika langit mendung.
  • Mazhab Maliki harus dengan dua saksi.
  • Mazhab Syafi’i cukup dengan satu saksi.
  • Mazhab Hambali, untuk hilal Ramadhan cukup satu saksi, sedangkan hilal Syawal dengan dua saksi.
  • Persaksian perempuan diterima di mazhab Hanafi dan Hambali. Tidak diterima di mazhab Maliki dan Syafi’i.



Referensi:
[1] al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah (الموسوعة الفقهية الكوتية), 38/110)
[2] al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu (الفقه الإسلامي وأدلته), 2/527)
guru ngaji & bahasa arab