Ikhtilaf Matholi'

Memulai puasa Ramadhan ditandai dengan dipastikannya tanggal 1 bulan Ramadhan. 

1. Rukyatul Hilal
Melihat hilal atau bulan di awal bulan Ramadhan yang dilihat oleh orang yang adil dan melaporkannya sulton/pemerintah. Kemudian pemerintah yang akan mengumumkannya kepada kaum muslimin untuk berpuasa.

2. Ikmal/menggenapkan hitungan ban Sya’ban
Ketika hilal terlihat, maka ditentukan dengan menggenapkan hitungan bulan Sya’ban menjadi 30 hari. Sehingga sudah pasti hari berikutnya adalah tanggal 1 awal bulan Ramadhan.

Ketika tanggal 1 Ramadhan, seluruh umat Islam di seluruh belahan dunia Ramadhan.

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، فإنْ غُبِّيَ علَيْكُم فأكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ

“Berpuasalah karena melihat hilal Ramadhan, berbukalah (idul fitri) karena melihatnya pula, Jika kalian terhalangi dari melihatnya, maka cukupkanlah jumlah bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari.” HR. Bukhari [1909], Muslim [1081] 

Namun realitas yang ada tetap terjadi perbedaan awal Ramadhan, sebagian negara berpuasa lebih dahulu dari yang lainnya. Kaum muslimin di setiap negara berpegang dengan rukyah masing-masing.

Dalam maslah, di pembahasan fiqih, kita mengenal ikhtilaf matholi’ (perbedaan mathla’ bulan). Ulama berbeda pendapat menjadi dua kelompok besar:
1.  ittifaq/wihdatul matholi’ (اتفاق أو وحدة المطالع)
2. ikhtilaf/ta’addud matholi’ (اختلاف أو تعدد المطالع)

Wihdatul matholi’ artinya bulan memiliki mathla’ yang sama, sedangkan ta’addud matholi’ artinya bulan memiliki mathla’ yang berbeda di setiap wilayah.
Pendapat jumhur (sebagian besar) ulama adalah wihdatul mahtoli’, artinya seluruh kaum muslimin di seluruh negara memulai puasa di hari yang sama, karena cukup satu rukyah dan berlaku untuk semua wilayah. Adapun pendapat Syafi’iyah adalah ta’addud matholi’, artinya setiap wilayah memiliki mathla’ masing-masing, ketika sebuah wilayah melihat hilal, maka wilayah yang jauh tidak harus mengikuti rukyah tersebut.

Definisi matholi’, hilal dan rukyah

Matholi’ (مطالع) dalam bahasa Arab adalah jamak/bentuk plural dari mathla’ (مطلع). Arti mathla’ adalah tempat terbit tempat terbit atau muncul. Pengertian mathla’ dalam Syariah tidak jauh berbeda dengan pengertiannya dalam bahasa Arab, yaitu tempat terbitnya hilal di ufuk bara.

Hilal (هلال) adalah bulan di awal kemunculannya di setiap bulan, di malam pertama atau kedua di setiap bulan. Dalam istilah hilal adalah bagian yang terlihat bercahaya dari bulan di malam pertama. Hilal diterjemahkan pula dengan bulan sabit.

Rukyah (رؤية) adalah mengetahui mengetahui sesuatu dengan indra pandangan (إدراك الشيء بحاسة البصر). Ibnu Sayyidah mengatakan rukyah adalah melihat dengan mata dan hati (النظر بالعين والقلب).

Yang dimaksud dengan rukyah hilal (رؤية الهلال) melihat hilal dengan dengan mata setelah terbenamnya matahari hari ke-29 oleh orang yang bisa diterima informasinya dan diterima persaksiannya, sehingga awal Ramadhan ditetapkan oleh rukyahnya.

Wihdatul Matholi’

Wihdatul matholi’ adalah menetapkan semua wilayah di dunia dengan satu mathla’ dan tidak menganggap adalah ikhtilaf atau perbedaan mathla’. Ini adalah pendapat Hanafiyah, Malikiyah, Hanabilah, dan salah satu pendapat di Syafi’iyah.

Jika sebuah wilayah melihat hilal Ramadhan, maka kaum muslimin di seluruh dunia berpuasa mengikuti rukyah wilayah tersebut. Dalil pendapat ini adalah, 

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، فإنْ غُبِّيَ علَيْكُم فأكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ

“Berpuasalah karena melihat hilal Ramadhan, berbukalah (idul fitri) karena melihatnya pula, Jika kalian terhalangi dari melihatnya, maka cukupkanlah jumlah bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari.” HR. Bukhari [1909], Muslim [1081]

Rukyah dalam hadis ini adalah perintah kepada umat secara keseluruhan.

Ikkhtilaf Matholi’

Pendapat ini mengatakan ada perbedaan mathla’ di setiap wilayah. Ini adalah pendapat yang paling kuat di mazhab Syafi’i. Mereka mengatakan, setiap wilayah memiliki rukyah masing-masing, rukyah satu wilayah tidak bisa ditetapkan untuk wilayah yang jauh.

Dalil pendapat ini adalah bahwa Ibnu Abbas yang berada di Madinah tidak mengamalkan rukyah penduduk Syam. sebagaimana disebut dalam hadis Kuraib.

عَنْ كُرَيْبٍ، أَنَّ أُمَّ الْفَضْلِ بِنْتَ الْحَارِثِ، بَعَثَتْهُ إِلَى مُعَاوِيَةَ بِالشَّامِ، قَالَ: فَقَدِمْتُ الشَّامَ، فَقَضَيْتُ حَاجَتَهَا، وَاسْتُهِلَّ عَلَيَّ رَمَضَانُ وَأَنَا بِالشَّامِ، فَرَأَيْتُ الْهِلَالَ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ، ثُمَّ قَدِمْتُ الْمَدِينَةَ فِي آخِرِ الشَّهْرِ، فَسَأَلَنِي عَبْدُ اللهِ بْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، ثُمَّ ذَكَرَ الْهِلَالَ فَقَالَ: مَتَى رَأَيْتُمُ الْهِلَالَ؟ فَقُلْتُ: رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ، فَقَالَ: أَنْتَ رَأَيْتَهُ؟ فَقُلْتُ: نَعَمْ، وَرَآهُ النَّاسُ، وَصَامُوا وَصَامَ مُعَاوِيَةُ، فَقَالَ: «لَكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ، فَلَا نَزَالُ نَصُومُ حَتَّى نُكْمِلَ ثَلَاثِينَ، أَوْ نَرَاهُ، فَقُلْتُ: أَوَ لَا تَكْتَفِي بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَةَ وَصِيَامِهِ؟ فَقَالَ: لَا، هَكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ»

Dari Kuraib : Sesungguhnya Ummu Fadl binti Al-Haarits telah mengutusnya menemui Mu’awiyah di Syam. Berkata Kuraib : Lalu aku datang ke Syam, terus aku selesaikan semua keperluannya. Dan tampaklah olehku awal Ramadhan, sedang aku masih di Syam, dan aku melihat hilal Ramadhan pada malam Jum’at. Kemudian aku datang ke Madinah pada akhir bulan Ramadhan. Lalu Abdullah bin Abbas bertanya ke padaku (tentang beberapa hal), kemudian ia menyebutkan tentang hilal, lalu ia bertanya ; “Kapan kamu melihat hilal Ramadhan?
Jawabku : “Kami melihatnya pada malam Jum’at”.
Ia bertanya lagi : “Engkau melihatnya sendiri?”
Jawabku, “Ya ! Dan orang banyak juga melihatnya, lalu mereka puasa dan Mu’awiyah berpuasa”.
Ia berkata, “Tetapi kami melihatnya pada malam Sabtu, maka senantiasa kami berpuasa sampai kami sempurnakan tiga puluh hari, atau sampai kami melihat hilal (bulan Syawwal) “. Aku bertanya, “Apakah tidak cukup bagimu ru’yah (penglihatan) dan puasanya Mu’awiyah ?
Jawabnya : “Tidak ! Begitulah Rasulullah ﷺ, telah memerintahkan kepada kami”. 
HR. Muslim [1087], Abu Daud [2332], an-Nasa’i [2111] at-Tirmidzi [693], Ahmad [2789]

Melihat fatwa ini, imam Nawawi mengatakan bahwa sebuah rukyah di wilayah tertentu tidak bisa ditetapkan untuk wilayah yang jauh.

Ibnu Taimiyah menetapkan adanya perbedaan mathla’ dengan alasan:
Pertama, terjadinya perbedaan rukyah karena adanya perbedaan timur dan barat.
Kedua, rukyah disebabkan adanya perbedaan jarak dan wilayah.

Beliau juga menambahkan bahwa ikhtilaf matholi’ adalah sebuah realitas yang tidak bisa diingkari terjadi antara wilayah yang berjauhan.



Referensi:
[1] الموسوعة الفقهية الكويتية
[2] الفقه الإسلامي وأدلته
guru ngaji & bahasa arab